MAWARIS
BAB I
PENDAHULUAN
A.
PENGERTIAN
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras (موارث), yang merupakan mashdar (infinitif) dari
kata : warasa – yarisu – irsan – mirasan. Maknanya menurut bahasa adalah ;
berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum
kepada kaum lain.
Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah,
berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya
yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau
apa saja yang berupa hak milik yang legal secara syar’i.
Jadi yang dimaksudkan dengan mawaris dalam hukum Islam adalah pemindahan
hak milik dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris yang masih
hidup sesuai dengan ketentuan dalam al-Quran dan al-Hadis.
Sedangkanm istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang mempelajari
siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak
menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya.
Sedangkan Wirjono Prodjodikoro mendefinisikan warisan sebagai berikut; soal
apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang
kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain
yang masih hidup.
Fiqih Mawaris juga disebut Ilmu Faraid, diambil dari lafazh faridhah, yang
oleh ulama faradhiyun semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni bagian yang telah
dipastikan kadarnya. Jadi disebut dengan ilmu faraidh, karena dalam pembagian
harta warisan telah ditentukan siapa-siapa yang berhak menerima warisan, siapa
yang tidak berhak, dan jumlah (kadarnya) yang akan diterima oleh ahli waris
telah ditentukan
B. TUJUAN
KEWARISAN ISLAM
Adapun tujuan kewarisan dalam Islam dapat kita rumuskan sebagai berikut :
1. Penetapan bagian-bagian warisan dan yang berhak menerima secara rinci
dan jelas, bertujuan agar tidak terjadinya perselisihan dan pertikan antara
ahli waris. Karena dengan ketentuan-ketentuan tersebut, masing-masing ahli
waris harus mengikuti ketentuan syariat dan tidak bisa mengikuti kehendak dan
keinginan masing-masing.
2. Baik laki-laki maupun perempuan mendapat bagian warisan (yang pada masa
jahiliyah hanya laki-laki yang berhak) sebagai upaya mewujudkan pembagian
kewarisan yang berkeadilan berimbang. Dalam artian masing-masing berhak
menerima warisan sesuai dengan porposi beban dan tanggung jawabnya.
BAB II
HUKUM DAN SUMBER
HUKUM KEWARISAN
A. HUKUM KEWARISAN
Dalam hukum kewarisan terdapat dua hal, yaitu, hukum membagi harta warisan
menurut ketentuan syari’at Islam dan hukum mempelajari dan mengajarkannya.
1. Hukum membagi harta warisan menurut ketentuan syari’at Islam
Bagi umat Islam melaksanakan peraturan-peraturan syari’at yang telah
ditentukan nash yang sharih adalah suatu keharusan, selama peraturan tersebut
tidak ditunjuk oleh dalil nash yang lain yang menunjukkan ketidak-wajibannya.
Dalam hal ini kita dapat merujuk nash al-Quran maupun al-Hadis yang
berkaitan dengan hal tersebut, yaitu :
a. Surat an-Nisa’ ayat 13 dan 14 :
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang
siapa ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam
surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya
dan itulah kemenangan yang besar. (QS. An-Nisa’ : 13).
Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, Allah bakal memasukkannya ke dalam neraka sedang ia
kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan. (Q.S. An-Nisa’ : 13-14).
b. Hadis Rasulullah SAW.
Bagilah harta (warisan) antara ahli-ahli waris menurut kitabullah
(al-Quran). (H.R. Muslim dan Abu Dawud).
Berdasarkan nash al-Quran dan al-Hadis tersebut, maka diisyaratkan
keharusan (kewajiban) membagi harta warisan menurut ketentuan al-Quran dan
al-Hadis. Tetapi selain pemindahan hak kepemilikan melalui kewarisan, adanya
ketentuan wasiat dan hibah. Sehingga terhadap orang lain yang tidak mendapatkan
harta melalui kewarisan dapat diberikan melalui wasiat atau hibah. Demikian
pula bagi ahli waris yang merasa tidak membutuhkan dan tidak mau menerima
pembagian harta warisan, dapat memberikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan
melalui hibah.
Dalam Undang-undang Kewarisan Mesir adanya ketentuan wasiat wajibah bagi
cucu perempuan dari garis perempuan yang tidak memperoleh harta warisan karena
sebagai zawil arham. Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam ditemukan pula
ketentuan wasiat wajibah bagi orang tua angkat atau anak angkat. Hal tersebut
menurut penulis langkah yang tepat demi mewujudkan keadilan dengan tanpa
menyalahi ketentuan syari’at.
2. Hukum mempelajari dan mengajarkannya.
Islam mengatur ketentuan pembagian harta waris secara rinci agar tidak
terjadinya perselisihan dan pertikaian antara ahli waris. Hal tersebut
seringkali terjadi jika seseorang meninggal dunia, menimbulkan perselisihan
bagi ahli warisnya dalam pembagian harta, bahkan tidak jarang terjadi
pertikaian. Seabagai antisipasi hal tersebut, maka ditentukan secara rinci
tentang pembagian harta warisan sebagai pedoman.
Dengan telah ditetapkannya pembagian harta warisan dalam Islam, maka harus
ada orang yang mempelajari dan mengajarkannya. Sehingga orang-orang yang telah
mempelajarinya dapat merealisasikan didalam pembagian harta warisan bagi umat
Islam.
Para ulama berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan fiqih mawaris
adalah wajib kifayah. Dalam artian apabila telah ada sebagian orang yang
melakukannya (memenuhinya) maka dapat menggugurkan kewajiban semua orang.
Tetapi apabila tidak ada seorang pun yang melaksanakan kewajiban tersebut, maka
semua orang menanggung dosa.
Dalam hadis Nabi dinyatakan ; Pelajari oleh kalian al-Quran dan ajarkanlah
kepada orang lain, dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang
lain. Karena aku adalah orang yang bakal terengut (mati) sedang ilmu akan
dihilangkan. Hampir saja dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan
tidak mendapatkan seorang pun yang dapat memberikan fatwa kepada mereka. (H.R.
Ahmad, Nasai dan al-Daruqutny).
Berdasarkan hadis tersebut, ditempatkan perintah mempelajari dan
mengajarkan ilmu faraidh dengan perintah mempelajari dan mengajarkan al-Quran,
menandakan betapa pentingnya ilmu faraidh tersebut. Hal tersebut sebagai upaya
mewujudkan pembagian warisan yang berkeadilan dan menurut ketentuan syariat
Islam. Terlebih kecenderungan manusia yang materialistik, maka ketentuan
pembagian warisan tersebut sangat penting agar terhindarnya konflik dan perselisihan.
B. SUMBER HUKUM KEWARISAN
Hukum kewarisan bersumber pada al-Quran dan al-Hadis yang menjelaskan
ketentuan hukum kewarisan.
1. Al-Quran
a. Surat an-Nisa’ ayat 7 :
Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.
(An-Nisa’ : 7).
Menurut ayat kewarisan tersebut baik laki-laki maupun perempuan berhak
mewarisi harta yang ditinggalkan ibu-bapa maupun kerabatnya. Hal tersebut
menghapuskan tradisi yang berlaku pada masa jahiliyah, yang berhak menerima
warisan hanya laki-laki yang dewasa saja.
b. Surat al-Ahzab ayat 6 :
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari mereka
sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang
mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam
kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang muhajirin kecuali kalau
kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama), adalah yang demikian
itu telah tertulis dalam kitab (Allah). (Al-Ahzab : 6).
Berdasarkan ayat tersebut, orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan
lebih berhak mewarisi harta seseorang yang meninggal dunia daripada orang lain.
Tetapi tidak menutup kemungkinan, jika mau berbuat baik kepada orang lain
(seagama) dengan melalui hibah atau wasiat.
c. Surat an-Nisa’ ayat 11 dan 12 :
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha bijaksana. (An-Nisa’ : 11).
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai naka, maka para isteri meperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara
perempuan (seibu saja) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat
olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada
ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang
benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
(An-Nisa’ : 12).
Kedua ayat tersebut menjelaskan secara rinci bagian-bagian ahli waris baik
yang termasuk ashabul furudl maupun ashabah.
Ayat-ayat lain yang berhubungan dengan kewarisan adalah
al-Baqarah 180, An-nisa’ 8,9,176 dan al-Anfal 75.
al-Baqarah 180, An-nisa’ 8,9,176 dan al-Anfal 75.
2. Al-Hadis
a. Riwayat Bukhari dan Muslim.
Nabi SAW. bersabda; Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang
yang berhak, sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (dekat
kekerabatannya). (H.R. Bukhari dan Muslim).
b. Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
Orang muslim tidak berhak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak
berhak mewarisi orang muslim. (H.R. Bukhari dan Muslim).
c. Riwayat Bukhari dan Muslim dari Sa’ad ibn Abi Waqqas tentang batas
maksimal pelaksanaan wasiat.
Rasulullah SAW. datang menjengukku pada tahun haji wada’ diwaktu aku
menderita sakit keras. Lalu aku bertanya kepada beliau,” wahai Rasulullah, aku
sedang menderita sakit keras, bagaimana pendapatmu, aku ini orang berada
sementara tidak ada yang akan mewarisi hartaku selain seorang anak perempuan,
apakah aku sedekah (wasiat) kan dua peretiga hartaku? “Jangan” jawab Rasul. Aku
bertanya “setengah”? “jangan” jawab Rasul. Aku bertanya “sepertiga”? Rasul
menjawab “sepertiga” sepertiga adalah banyak atau besar, sungguh kamu jika
meninggalkan ahli warismu dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik daripada
meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang. (H.R.
Bukhari dan Muslim).
BAB III
ASAS KEWARISAN ISLAM
Berdasarkan
nash baik al-Quran maupun al-Hadis, maka kita dapat merumuskan asas-asas
kewarisan Islam sebagai berikut :
A. ASAS IJBARI
Dalam hukum Islam peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia
kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya, yang dalam pengertian hukum
Islam berlaku secara ijbari. Kata ijbari secara etimologis mengandung arti
paksaan (compulsory), yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri.
Hal tersebut berarti bahwa peralihan harta dari seseorang yang meninggal
kepada ahli warisnya berlangsung dengan sendirinya berdasarkan ketetapan Allah,
tanpa bergantung kepada kepada ahli waris atau pewaris.
Adapun asas ijbari dalam kewarisan Islam terjadi dalam hal :
a. Segi peralihan harta
b. Segi jumlah pembagian
c. Segi kepada siapa harta itu beralih.
B. ASAS BILATERAL
Asas bilateral dalam kewarisan Islam, berarti bahwa seseorang menerima
warisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu baik dari kerabat garis keturunan
laki-laki maupun perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat an-Nisa’ ayat 7.
Amir syarifuddin menyatakan, bahwa seorang laki-laki berhak menerima
warisan dari pihak ayahnya juga dari pihak ibunya. Begitu pula seorang
perempuan berhak mendapat warisan dari kedua pihak orang tuanya.
Demikian pula dapat dilihat dari surat an-nisa’ ayat 12, bahwa baik duda
maupun janda saling mewarisi, saudara laki-laki mewarisi dari saudara laki-laki
dan saudara perempuannya. Kemudian sebagaimana termuat dalam surat an-Nisa’
ayat 33, menurut Hazairin bahwa, cucu baik laki-laki maupun perempuan mewarisi
menggantikan ibu atau bapaknya.
C. ASAS INDIVIDUAL
Asas individual artinya ialah, dalam system hukum kewarisan Islam, harta
peninggalan yang ditinggalkan dibagi secara individual secara pribadi langsung
kepada masing-masing.
Asas individual dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat pada surat
an-nisa’ ayat 11, yaitu ;
a. Bahwa anak laki-laki mendapat bagian dua kali dari bagian anak perempuan
b. Bila anak perempuan itu dua orang atau lebih baginya dua pertiga dari
harta peninggalan
c. Dan jika perempuan itu hanya seorang saja maka baginya seperdua harta
peninggalan.
Pembagian secara individual ini didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap
insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan manjalankan
kewajiban, yang dalam istilah ushul fiqih disebut “ahliyat al-wujub”. Akan
tetapi berlaku pula ketentuan lain yaitu kecakapan untuk bertindak yang dalam
ushul fiqih disebut “ahliyatul ada”. Dalam artian pembagian harta tersebut
diberikan kepada seseorang secara individual, dengan catatan adanya kecakapan
orang tersebut.
D. Asas keadilan berimbang
Hak waris yang diterima oleh ahli waris pada hakikatnya merupakan
pelanjutan tanggung jawab pewaris kepada keluarganya (ahli waris), sehingga
kadar yang diterima oleh ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab
seseorang.
Seorang laki-laki memikul tanggung jawab yang lebih berat dari perempuan,
sehingga suatu hal yang wajar jika bagiannya dua kali bagian perempuan.
Tanggung jawab tersebut dari ayat al-Quran :
1) Al-Baqarah 23 :
Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma’ruf. (Q.S. Al-Baqarah : 23).
2) An-Nisa’ 34 :
Kaum
laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihi
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
itu mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka….(Q.S. An-Nisa’ : 34).
3) Ath-Thalaq 6 :
Tempatkanlah
mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmua….(Ath-Thalaq : 6).
E. ASAS KEWARISAN SEMATA AKIBAT KEMATIAN
Hukum kewarisan Islam menetapkan bahwa peralihan harta melalui cara
kewarisan, dilakukan setelah orang yang mempunyai harta meninggal. Hal tersebut
dapat dikaji dari penggunaan kata-kata warasa.
Hubungan kewarisan Islam dengan kewarisan Nasional di Indonesia sampai saat
ini belum terdapat suatu kesatuan hukum kewarisan yang dapat diterapkan secara
universal bagi seluruh warga negara Indonesia. Oleh karenanya hukum kewarisan
yang diterapkan bagi warga negara Indonesia berbeda-beda mengingat penggolongan
dari warga negara.
Penggolongan tersebut adalah :
1) Bagi warga negara Indonesia asli
Bagi warga negara Indonesia asli pada prinsipnya berlaku Hukum Adat. Yang
dalam hal ini sudah barang tentu terdapat perbedaan antara satu daerah dengan
daerah yang lain. Perbedaan tersebut karena adanya perbedaan sifat kekeluargaan
mereka masing-masing.
Sifat kekeluargaan (keturunan) dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu ;
a. Sistem Patrilinial, yaitu ditarik menurut garis bapak
b. Sistem Matrilinial, yang ditarik menurut garis ibu.
c. Sistem Parental, yang ditarik menurut garis ibu-bapak.
2) Bagi warga negara golongan Indonesia asli yang beragama Islam
Bagi warga negara Indonesia asli yang beragama Islam, selain dipengaruhi
hukum kewarisan adat, juga banyak dipengaruhi oleh kewarisan Islam.
Berkaitan dengan hal tersbut, hendaknya hukum kewarisan yang berlaku di
masing-masing daerah (hukum kewarisan adat) harus disesuaikan dan berpedoman
pada kewarisan Islam. Sebab umat Islam mengatur segala aspek kehidupan bagi
umatnya.
3) Bagi orang-orang Arab
Pada umumnya seluruh hukum kewarisan Islam berlaku bagi orang-orang Arab di
Indonesia.
4) Bagi orang Tionghoa da Eropa
5) Bagi orang Tionghoa dan Eropa, bagi mereka berlaku hukum warisan yang
termuat dalam Burgelijk Wetboek (BW) buku II pasal 830 sampai dengan pasal
1130.
BAB IV
UNSUR-UNSUR
DAN SYARAT KEWARISAN
A. UNSUR KEWARISAN
Dalam
kewarisan Islam terdapat tiga unsur (rukun), yaitu :
1. Maurus.
Maurus atau
miras adalah harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan
jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat. Dalam hal ini yang
diamaksdukan hal tersebut adalah :
a. Kebendaan yan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya
benda-benda tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang si mati, diyat wajibah
(denda wajib) yang dibayarkan kepadanya.
b. Hak-hak kebendaan, seperti monopoli untuk mendayagunakan dan menarik
hasil dari suatu jalan lalu lintas, sumber air minum, irigasi dan lain
sebagainya.
c. Benda-benda yang bukan kebendaan, seperti hak khiyar dan hak syuf’ah,
hak memanfaatkan barang yang diwasiatkan dan sebagainya.
d. Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, seperti benda yang
sedang digadaikan, benda yang telah dibeli oleh si mati sewaktu masih hdup yang
sudah dibayar tetapi barang belum diterima.
2. Muwaris.
Muwaris,
yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan
hartanya.
3. Waris.
Waris,
adalah orang yang berhak mewarisi harta peninggalan muwaris karena mempunyai
hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan atau
akibat memerdekakan hamba sahaya.
B. SYARAT KEWARISAN
Adapun
syarat-syarat terjadinya pembagian harta warisan dalam Islam adalah ;
1. Matinya muwaris.
Kematian
muwaris dibedakan kepada tiga macam yaitu :
a. Mati haqiqy.
Mati haqiqy,
ialah kematian seseorang yang dapat disaksikan oleh panca indra dan dapat dibuktikan
dengan alat pembuktian.
b. Mati hukmy.
Mati hukmy,
ialah suatu kematian disebabkan adanya vonis hakim. Misalnya orang yang tidak
diketahui kabar beritanya, tidak diketahui domisilinya, maka terhadap orang
yang sedemikian hakim dapat memvonis telah mati. Dalam hal ini harus terlebih
dahulu mengupayakan pencarian informasi keberadaannya secara maksimal.
c. Mati taqdiry (menurut dugaan).
Mati
taqdiry, yaitu orang yang dinyatakan mati berdasarkan dugaan yang kuat. Semisal
orang yang tenggelam dalam sungai dan tidak diketem,ukan jasadnya, maka orang
tersebut berdasarkan dugaan kuat dinyatakan telah mati. Contoh lain, orang yang
pergi kemedan peperangan, yang secara lahiriyah mengancam jiwanya. Setelah
sekian tahun tidak diketahui kabar beritanya, maka dapat melahirkan dugaan kuat
bahwa ia telah meninggal.
2. Hidupnya waris.
Dalam hal
ini, para ahli waris yang benar-benar hiduplah disaat kematian muwaris, berhak
mendapatkan harta peninggalan. Berkaiatan dengan bayi yang masih berada dalam
kandungan akan dibahas secara khusus.
3. Tidak adanya penghalang-penghalang mewarisi.
Tidak ada
penghalang kewariosan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hal-hal yang
menjad penghalang kewarisan.
BAB V
SEBAB-SEBAB
ADANYA KEWARISAN MENURUT ISLAM
Dalam
kewarisan Islam, sebab-sebab adanya hak kewarisan ada tiga, yaitu; hubungan
kekerabatan, hubungan perkawinan dan hubungan karena sebab al-wala’.
A. HUBUNGAN KEKERABATAN
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang
yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab
memperoleh hak mewarisi yang terkuat, karena kekerabatan termasuk unsure
causalitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan. Berlainan dengan
perkawinan, jika perkawinan telah putus (cerai) maka dapat hilang.
Dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah
firman Allah :
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan. (Q.S. An-Nisa’ : 7).
Demikian pula dalam surat al-Anfal ayat 75 : …Orang-orang yang mempunyai
hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang
bukan kerabat) didalam kitab Allah. (Q.S. Al-Anfal : 75).
B. HUBUNGAN PERKAWINAN
Hubungan perkawinan yang menyebabkan terjadinya saling mewarisi adalah
perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi. Dalam
hal ini, terpenuhinya rukun dan syarat secara agama. Tentang syarat
administrative masih terdapat perbedaan pendapat. Hukum perkawinan di
Indonesia, memberikan kelonggaran dalam hal ini. Yang menjadi ukuran sah atau
tidaknya perkawinan bukan secara administrasi (hukum positif, Pen.) tetapi
ketentuan agama.
Disebagian negara muslim, seperti Pakistan, perkawinan yang tidak dicatat
dapat dihukum penjara atau denda atau bahkan kedua-duanya. Di Indonesia
hendaknya ini menjadi perhatian, karena perkawinan yang tidak terpenuhinya
secara administrative (hukum positif) akan dapat menimbulkan kemudlaratan,
seperti penyangkalan terhadap suatu perkawinan karena tidak adanya bukti
tertulis (secara administratif).
Berkaitan dengan perkawinan yang menyebabkan saling mewarisi adalah
perkawinan yang masih utuh atau dianggap masih utuh. Yang dimaksud dengan
perkawinan yang dianggap masih utuh ialah apabila perkawinan telah diputus
dengan thalak raj’i (cerai pertama dan kedua) dan masa iddah raj’i bagi seorang
isteri belum selesai. Perkawinan tersebut dianggap masih utuh karena selama
masa iddah, suami berhak penuh merujuk isterinya tanpa memerlukan kerelaan
isteri, tanpa membayar mas kawin baru dan tanpa menghadirkan dua orang saksi
dan wali.
Sehingga isteri yang sedang berada dalam masa iddah talak raj’i, apabila
suaminya meninggal ia berhak mewarisi harta suaminya. Demikian pula sebaliknya,
suami berhak mewarisi harta isterinya.
C. HUBUNGAN KARENA SEBAB AL-WALA’
Wala’ dalam
pengertian syariat adalah ;
1) Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak
emansipasi) budak.
2) Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong
menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan seseorang yang lain.
Wala’ yang pertama disebut dengan wala’ul ‘ataqah (disebabkan karena adanya
sebab telah membebaskan budak) Orang yang membebaskan budak disebut mu’tiq jika
laki-laki dan mu’tiqah jika perempuan. Sedangkan wala’ yang kedua disebut dengan
walaul-muwalah, yaitu wala’ yang timbul akibat kesediaan seseorang tolong
menolong dengan yang lain melalui suatu perjanjian. Misalnya seseorang berkata
kepada orang lain; wahai fulan engkau dapat mewarisi hartaku bila aku telah
mati dan dapat mengambil diyat (denda) untukku bila aku dilukai seseorang,
demikian pula aku dapat mewarisi hartamu dan menagambil diyat karenamu.
Kemudian orang lain tersebut menerima perjanjian itu. Pihak pertama disebut
al-mawali dan pihak kedua disebut al-mawala.
Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya (budak) adalah 1/6
(seperenam) dari harta peninggalan. Terhadap wala al-muwalah menurut jumhur
ulama demikian pula Undang-undang Kewarisan Mesir telah dinasakah melalui surat
al-Anfal ayat 75 :
Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
BAB VI
SEBAB-SEBAB
YANG MENJADI
PENGHALANG
KEWARISAN
Hal-hal yang
dapat menyebabkan seseorang terhalang untuk mewarisi
( موانع الارث ) ada tiga macam, yaitu : (Perbudakan, Pembunuhan, Berlainan
( موانع الارث ) ada tiga macam, yaitu : (Perbudakan, Pembunuhan, Berlainan
A. PERBUDAKAN
Perbudakan menjadi penghalang untuk mewarisi berdasarkan adanya petunjuk
umum yang menyatakan budak tidak memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum.
Hal ini berdasarkan surat al-Anfal ayat 75 :
Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang
tidak dapat bertindak terhadap sesutupun…(Q.S. Al-Anfal : 75).
Mafhum ayat tersebut menjelaskan bahwa budak itu tidak cakap untuk
mengurusi hak milik kebendaan dengan jalan apa saja. Hak-hak kebendaannya
sepenuhnya berada ditangan tuannya. Dan status kekerabatan dengan keluarganya
sudah putus. Sebagaimana dinyatakan oleh Drs. Fatchur Rahman, bahwa budak tidak
dapat mewarisi karena :
a. Ia dipandang tidak cakap mengurusi harta milik;
b. Status kekeluargaannya terhadap kerabat-kerabatnya sudah putus dan
karenanya ia sudah menjadi keluarga asing (bukan keluarganya).
Menurut Ali Ahmad Al-Juejawy, budak itu tidak dapat mewarisi harta
peninggalan tuannya bila tuannya meninggal, disebabkan budak itu sendiri
berstatus sebagai harta milik bagi tuannya.
Kitab Undang-undang Kewarisan Mesir tidak memuat pasal tentang penghalang
mewarisi karena perbudakan, karena di negara tersebut perbudakan dilarang oleh
undang-undang.
Hal tersebut merupakan hal yang sangat positif, karena pada hakikatnya
Islam tidak menghendaki adanya perbudakan. Hal tersebut dapat kita perhatikan
dari gencarnya Islam menghapuskan perbudakan dengan adanya hukuman yang
diberikan kepada seseorang berupa pembebasan budak. Budak adalah tetap manusia
yang mempunyai harkat dan martabat, hanya karena statusnya yang tidak memiliki
kecakapan apapun. Hal tersebut terjadi karena masa jahiliyah (sebelum Islam
dating) budak diposisikan dengan cara yang tidak terhormat, dapat diperlakukan
apa saja dan dianggap seperti barang/harta. Sehingga ajaran Islam yang sangat
memperhatikan keadaan dan kondisi suatu masyarakat, tidak dengan serta merta
(secara totalitas) menghapuskan tradisi tersebut. Proses tasyri’ yang
sedemikian dapat juga kita perhatikan dari proses pengharaman khamar (minuman
keras) yang dilakukan dengan bertahap.
B. PEMBUNUHAN
Pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap al-muwarris
menyebabkannya tidak dapat mewarisi hartanya. Demikian kesepakatan mayoritas
(jumhur) ulama. Hal tersebut merupakan hal yang cukup beralasan, karena tidak
menutup kemungkinan untuk menguasai harta seseorang membunuh orang lain. Karena
motivasi yang tidak baik tersebut, maka terhadap orang yang membunuh tidak
diperkenankan dan tidak berhak mewarisi harta peninggalannya.
Terhadap masalah ini, golongan khawarij, yang memisahkan diri dari Ali bin
Abi Thalib dan Muawiyah, menentang pendapat ini. Alasan mereka, ayat-ayat
al-Quran bersifat umum dan tidak mengecualikan si pembunuh. Karena ayat-ayat
kewarisan hanya memberi petunjuk umum, sehingga keumuman ayat-ayat tersebut
harus diamalkan.
Dalam hal ini mereka hanya mengacu pada keumuman ayat-ayat kewarisan.
Padahal dalam hadis nabi Muhammad SAW. adanya pengecualian terhadap pembunuh.
Adapun dasar hukum yang dipergunakan oleh mayoritas (jumhur) ulama yang
menyatakan pembunuh terhalang untuk mewarisi adalah;
1. Riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas :
Rasulullah SAW. bersabda : Barang siapa membunuh seseorang korban, maka ia
tidak dapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris selain
dirinya. (Begitu juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya atau anaknya
sendiri. Maka bagi pembunuh tidak berhak menerima warisan. (H.R. Ahmad).
2. Riwayat An-Nasai :
Tidak ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk mewarisi. (H.R. An-Nasai).
Berdasarkan hadis-hadis tersebut, maka secara jelas dinyatakan pembunuh
terhalang untuk mewarisi harta orang yang dibunuhnya. Hal tersebut, walaupun
tidak ada ahli waris lain selain dirinya, ataupun yang dibunuhnya orang tua
atau anaknya. Yang menjadi permasalahan adalah, mengingat banyaknya jenis dan
macam pembunuhan. Apakah secara keseluruhan pembunuhan menjadi penghalang untuk
mewarisi. Dalam hal ini ada beberapa pendapat, yaitu :
C. BERLAINAN AGAMA
Terhadap orang yang berlainan agama, maka hal tersebut dalam Islam menjadi
penghalang mewarisi. Semisal seorang muslim tidak dapat mewarisi harta
peninggalan orang yang beragama non Islam.
Adapun dasar hukumnya adalah hadis rasulullah SAW. : Orang Islam tidak
mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam.
Kemudian hadis riwayat Ashab Al-Sunan (Imam Abu daud, Al-Tirmizi, Al-Nasai,
dan Ibnu majah) :
Tidak dapat saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda.
Dalam hal ini nabi Muhammad SAW. ketika membagikan harta warisan paman
beliau, Abu Thalib, orang yang cukup berjasa dalam perjuangan nabi SAW. yang
meninggal sebelum masuk Islam, oleh nabi harta warisannya hanya dibagikan
kepada anak-anaknya yang masih kafoir, yaitu, ‘Uqail dan Talib. Sedangkan
terhadap anak-anaknya yang sudah masuk Islam, yaitu Ali dan Ja’far, tidak
diberi bagian.
Dalam hal ini terdapat permasalahan, yaitu apabila pewaris masuk Islam
sesudah meninggalnya orang yang mewarisi, dan harta peninggalan (ketika ia
masuk Islam) belum dibagikan. Ada beberapa pendapat sebagai berikut :
1. Jumhur ulama tetap berpendapat terhalangnya orang tersebut untuk
mewarisi hartanya. Karena yang menyebabkan timbulnya hak mewarisi adalah sejak
(karena) kematian orang yang mewarisi, bukan saat dimulainya pembagian harta
waris.
2. Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, menyatakan bahwa pewaris
tersebut tidak terhalang, dengan alas an predikat “berlainan agama’ sudah
hilang sebelum pembagian harta warisan.
3. Fuqaha aliran Imamiyah berpendapat sama dengan Ahmad bin Hanbal, tidak
terhalang, karena harta peninggalan itu belum menjadi milik harta waris secara
tetap, sebelum dibagi-bagikan kepada ahli waris
BAB VII
AHLI WARIS, HARTA YANG HARUS
DIKELUARKAN,
HAJIB DAN MAHJUB
A. AHLI WARIS
Ahli Waris ialah orang yang berhak menerima warisan, ditinjau jenisnya
dapat dibagi dua, yaitu zawil furud dan ashobah.
Penggolongan ahli waris ahli waris ada dua jenis lelaki dan perempuan .
1. Ahli
Waris lelaki terdiri dari.
a. Anak
laki-laki
b. Cucu
laki-laki sampai keatas dari garis anak laki-laki.
c. Ayah
d. Kakek
sampai keatas garis ayah
e. Saudara
laki-laki kandung
f. Saudara
laki-laki seayah
g. Saudara
laki-laki seibu
h. Anak
laki-laki saudara kandung sampai kebawah.
i. Anak
laki-laki saudara seayah sampai kebawah.
j. Paman
kandung
k. Paman
seayah
l. Anak
paman kandung sampai kebawah.
m. Anak
paman seayah sampai kebawah.
n. Suami
o. Laki-laki
yang memerdekakan
2. Ahli
Waris wanita terdiri dari
a. Anak
perempuan
b. Cucu
perempuan sampai kebawah dari anak laki-laki.
c. Ibu
d. Nenek
sampai keatas dari garis ibu
e. Nenek
sampai keatas dari garis ayah
f. Saudara
perempuan kandung
g. Saudara
perempuan seayah
h. Yang
Saudara perempuan seibu.
i. Isteri
j. Wanita
yang memerdekakan
Ditinjau dari sudut pembagian, Ahli waris terbagi dua yaitu : Ashhabul
furudh dan Ashobah.
1. Ashabul
furudh yaitu orang yang mendapat bagian tertentu. Terdiri dari
a. Yang dapat
bagian ½ harta.
o Anak
perempuan kalau sendiri
o Cucu
perempuan kalau sendiri
o Saudara
perempuan kandung kalau sendiri
o Saudara
perempuan seayah kalau sendiri
o Suami
b. Yang
mendapat bagian ¼ harta
o Suami
dengan anak atau cucu
o Isteri
atau beberapa kalau tidak ada (anak atau cucu)
c. Yang
mendapat 1/8
o Isteri
atau beberapa isteri dengan anak atau cucu.
d. Yang
mendapat 2/3
o dua anak
perempuan atau lebih
o dua cucu
perempuan atau lebih
o dua
saudara perempuan kandung atau lebih
o dua
saudara perempuan seayah atau lebih
e. Yang
mendapat 1/3
o Ibu jika
tidak ada anak, cucu dari grs anak laki-laki, dua saudara kandung/seayah atau
seibu.
o Dua atau
lebih anak ibu baik laki-laki atau perempuan
f. Yang
mendapat 1/6
o Ibu
bersama anak lk, cucu lk atau dua atau lebih saudara perempuan kandung atau
perempuan seibu.
o Nenek
garis ibu jika tidak ada ibu dan terus keatas
o Nenek
garis ayah jika tidak ada ibu dan ayah terus keatas
o Satu atau
lebih cucu perempuan dari anak laki-laki bersama satu anak perempuan kandung
o Satu atau
lebih saudara perempuan seayah bersama satu saudara perempuan kandung.
o Ayah
bersama anak lk atau cucu lk
o Kakek jika
tidak ada ayah
o Saudara
seibu satu orang, baik laki-laki atau perempuan.
2. Ahli waris ashobah yaitu para ahli waris tidak mendapat bagian tertentu tetapi
mereka dapat menghabiskan bagian sisa ashhabul furud. Ashobah terbagi tiga
jenis yaitu ashabah binafsihi, ashobah bighairi dan ashobah menghabiskan bagian
tertentu
a. Ashobah
binafsihi adalah yang ashobah dengan sndirinya. Tertib ashobah binafsihi sebagai
berikut:
o Anak
laki-laki
o Cucu
laki-laki dari anak laki-laki terus kebawah
o Ayah
o Kakek dari
garis ayah keatas
o Saudara
laki-laki kandung
o Saudara
laki-laki seayah
o Anak
laki-laki saudara laki-laki kandung sampai kebawah
o Anak
laki-laki saudara laki-laki seayah sampai kebawah
o Paman
kandung
o Paman
seayah
o Anak
laki-laki paman kandung sampai kebawah
o Anak
laki-laki paman seayah sampai kebawah
o Laki-laki
yang memerdekakan yang meninggal
b. Ashobah
dengan dengan saudaranya
o Anak
perempuan bersama anak laki-laki atau cucu laki.
o Cucu
perempuan bersama cucu laki-laki
o Saudara
perempkuan kandung bersama saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki
seayah.
o Saudara
perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah.
c. Menghabiskan
bagian tertentu
o Anak
perempuan kandung satu orang bersama cucu perempuan satu atau lebih (2/3).
o Saudara
perempuan kandung bersama saudara perempuan seayah (2/3)
B. Harta yang harus dikeluarkan
Harta yang
harus dikeluarkan sebelum dibagikan kepada ahli waris:
1. Biaya
jenazah
2. Utang
yang belum dibayar
3. Zakar
yang belum dikeluarkan
4. Wasiat
C. Hajib dan mahjub
1. Nenek dari garis ibu gugur haknya karena adanya ibu.
2. Nenek dari garis ayah gugur haknya karena adanya ayah dan ibu
3. Saudara seibu gugur haknya baik laki-laki ataupun perempuan oleh:
a. anak kandung laki/perempuan
b. cucu baik laki-laki/perempuan dari garis laki-laki
c. bapak
d. kakek
4. Saudara seayah baik laki-laki/perempuan gugur haknya oleh :
a. ayah
b. anak laki-laki kandung
c. cucu laki-laki dari garis laki-laki
d. Saudara laki-laki kandung
5. Saudara laki-laki/perempuan kandung gugur haknya oleh:
a. anak laki-laki
b. cucu laki-laki dari garis anak laki-laki
c. ayah
6. Jika semua ahli waris itu laki-laki yang dapat bagian ialah.
a. suami
b. ayah
c. anak laki-laki
7. Jika semua ahli waris itu semuanya perempuan dan ada semua, maka yang
dapat warisan ialah:
a. Isteri
b. Anak perempuan
c. Cucu perempuan
d. Ibu
e. Saudara perempuan kandung
8. Urutan pembagian antara saudara laki-laki kandung/ saudara laki-laki
seayah sampai kebawah dan urutan paman kandung / paman seayah sampai kebawah.
a. Saudara laki-laki kandung menggugurkan saudara seayah( L/P )
b. Saudara laki-laki seayah menggugurkan anak lk saudara kandung
c. Anak laki-laki saudara kandung menggugurkan anak lk saudara seayah
d. Anak laki-laki saudara seayah menggugurkan cucu lk saudara kandung.
e. Cucu laki-laki saudara kandung menggugurkan cucu lk saudara seayah dts
f. Cucu laki-laki saudara seayah menggugurkan Paman kandung
g. Paman kandung menggugurkan paman seayah
h. Paman seayah menggugurkan anak laki-laki paman kandung
i. Anak laki-laki paman kandung menggugurkan anak lk paman seayah
j. Anaklaki-laki paman seayah menggugurkan cucu lk paman kandung
k. Cucu laki-laki paman kandung menggugurkan cucu lk paman seayah.
b. demikian seterusnya.
BAB VIII
Warisan
dalam UU No 7 Tahun 1989
Hukum waris dalam Islam ialah berasal dari wahyu Allah dan diperjelas oleh
RasulNya. Hukum waris ini diciptakan untuk dilaksanakan secara wajib oleh
seluruh umat Islam. Semenjak hukum itu diciptakan tidak pernah mengalami
perubahan, karena perbuatan mengubah hukum Allah ialah dosa. Semenjak dsahulu
sampai sekarang umat Islam senantiasa memegang teguh hukum waris yang
diciptakan Allah yang bersumber pada kitab suci Al-Qur’an dan Hadits
Rasulullah.
Dalam Undang undang no 7 Tahun 1989, hukum waris itu dicamtumkan secara
sistematis dalam 5 bab yang tersebar atas 37 fasal dengan perincian sebagai
berikut:
Bab. I : Terdiri atas 1 pasal , ketentuan umum.
Bab. II : Terdiri atas 5 pasal, berisi tentang ahli waris
Bab. III. : Terdiri atas 16 pasal, berisi tentang besarnya bagian ahli
waris
Bab. IV : Terdiri atas 2 pasal, berisi tentang aul dan rad.
Bab. V : Terdiri atas 13 pasal, berisi masalah wasiat
Demikianlah selayang pandang tentang Undang-Undang no 7 tahun 1989,
Prinsipnya sama dengan hukum yang bersumber dengan Al-Qur’an dan Hadits.
BAB IX
CARA
MENGHITUNG, MEMBAGIKAN WARISAN
Contoh Kasus
Pertanyaan :
Seseorang Meninggal dunia
meninggalkan harta warisan senilai
Rp 66.000.000.00. Ahli waris terdiri dari kakek, bapak, dan 2anak laki-laki. Berapa bagian masing-masing?
Rp 66.000.000.00. Ahli waris terdiri dari kakek, bapak, dan 2anak laki-laki. Berapa bagian masing-masing?
Jawab :
Untuk dapat menjawab kasus ini mari
kita buka materi yang terdapat pada
BAB VII, disana dikatakan bahwa Bapak mendapatkan bagian 1/6
penyelesainnya adalah 1 x Rp 66.000.000.00 / 6 = Rp 11.000.000.00 jadi bapak mendapatkan bagian sejumlah Rp 11.000.000.00, sedangkan 2 Anak laki-laki adalah asobah/sisa, maka Penyelesainnya Rp 66.000.000.00 - Rp 11.000.000.00 = Rp 55.000.000.00, seorang anak laki-laki adalah Rp 55.000.000.00 / 2 = Rp 27.500.000.00
BAB VII, disana dikatakan bahwa Bapak mendapatkan bagian 1/6
penyelesainnya adalah 1 x Rp 66.000.000.00 / 6 = Rp 11.000.000.00 jadi bapak mendapatkan bagian sejumlah Rp 11.000.000.00, sedangkan 2 Anak laki-laki adalah asobah/sisa, maka Penyelesainnya Rp 66.000.000.00 - Rp 11.000.000.00 = Rp 55.000.000.00, seorang anak laki-laki adalah Rp 55.000.000.00 / 2 = Rp 27.500.000.00
Bagiman adengan kakek, kakek tidak
memiliki hak waris karena terhalang oleh ayah.
PENUTUP
Semua orang muslim wajib mempelajari
ilmu mawaris, Ilmu mawaris sangat penting dalam kehidupan manusia khususnya
dalam keluarga karena tidak semua orang yang ditinggal mati oleh seseorang akan
mendapatkan warisan.
Hal yang perlu diperhatikan apabila
kita orang muslim mengetahui pertalian darah, hak dan pembagiannya apabila mendapatkan
warisan dari orang tua maupun orang lain.
Saran. Bagi para pembaca setelah membaca makalah ini diharapkan lebih memahami mawaris dalam kehidupan keluarga maupun orang lain sesuai dengan ajaran agama islam dimana hukum memahami mawaris adalah fardhu kifayah.
Saran. Bagi para pembaca setelah membaca makalah ini diharapkan lebih memahami mawaris dalam kehidupan keluarga maupun orang lain sesuai dengan ajaran agama islam dimana hukum memahami mawaris adalah fardhu kifayah.
Demikian materi makalah Fikih
Mawaris dapat kami suguhkan,
semoga dengan uraian sederhana ini dapat bermanfaat khususnya bagi saya selaku
penyusun dan para pembaca yang budiman pada umumnya.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Sunusi selaku Dosen mata kuliah AIK VII yang telah
memberikan tugas makalah sehingga penyusun mendapat pengalaman dan pengetahuan
baru mengenai ilmu fiqih
mawaris. Semoga dengan ini kita semua dapat meningkatkan kualitas ilmu kita
scara maksimal sehingga kita menjadi hamba Allah yang
bermanfaat dengan ijin-Nya.
Billahi
fisabililhaq astabiqul khairat
Assalamualaikum
Wa Rahmatullahi Wabarakatuh.
DAFTAR PUSTAKA
H. Muh. Rifa’I,1996,Fiqh Mawaris, Semarang : sayid sabiq,fiqih sunnah, Beirut: Darut
fikr
Al-Quran QS.An-Nisa ‘:7 dan 11
Al-Quran QS.An-Nisa ‘:7 dan 11
Al Hadist : HR Jamaah, HR.Ahmad dan Abu Daud.
Amin Suma Muhammad, Hukum Keluarga Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2005
Rofiq Ahmad, Fiqh
Mawaris. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2001
Usman Suparman. Hukum
Kewarisan Islam. Jakarta: Gaya Media. 2002
Comments
Post a Comment